Sabtu, 07 Juli 2012

MEMAHAMI PENGELOLAAN RESUSITASI JANTUNG PARU SEBAGAI LANDASAN UNTUK DITERAPKAN PADA ASUHAN KEGAWATDARURATAN MATERNAL


A.    KEGAWATDARURATAN MATERNAL
Diseluruh dunia, satu wanita meninggal setiap menit akibat komplikasi kehamilan. Di Negara Berkembang, kematian maternal memang jarang terjadi, namun diperkirakan sekitar 2/3 pelayanan maternal diberikan dengan layanan substandard dalam arti bahwa sebagian besar kasus kegawatdaruratan obstetrik merupakan kasus yang jarang terjadi sehingga ketrampilan staf junior dalam mengatasi masalah komplikasi kehamilan sangat kurang dan kasus kegawat daruratan tersebut tidak memperoleh penanganan yang baik.
Prinsip pada penanganan penderita gawat darurat harus cepat dan tepat serta harus dilakukan segera oleh setiap orang yang pertama menemukan/mengetahui (orang awam, perawat, para medis, dokter), baik didalam maupun diluar rumah sakit karena kejadian ini dapat terjadi setiap saat dan menimpa siapa saja.
Gawat darurat adalah suatu kondisi dimana dapat mengancam nyawa apabila tidak mendapatkan pertolongan secepatnya. Contoh : gawat nafas, gawat jantung, kejang, koma, trauma kepala dengan penurunan kesadaran.
Yang termasuk kegawatdaruratan maternal :
  1. Perdarahan obstetrik
  2. Eklampsia
  3. Retensio plasenta
  4. Inversio Uteri
  5. Ruptura Uteri
Prinsip Penatalaksanaan
Antisipasi dan kesiapsiagaan adalah hal yang amat penting
Peralatan medis untuk menghadapi kegawatdaruratan harus sudah siap pakai dan semua staf dapat mengoperasionilkan dengan baik, cepat dan benar.
Ingat :
  1. Pada kasus obstetri ada 2 jiwa yang harus diselamatkan yaitu Ibu dan Anak
  2. Dalam situasi kegawatdaruratan maka hitungan detik sangat berharga
  3. Kepanikan bukan jawaban yang baik
B.     RESUSITASI JANTUNG PARU
a.      Pengertian
RJP adalah bantuan hidup dasar merupakan bagian dari pengelolaan gawat darurat medik yang bertujuan untuk :
1. Mencegah berhentinya sirkulasi atau berhentinya respirasi ( insufisiensi respirasi ) melalui pengenalan atau intervensi segera.
2. Memberikan bantuan eksternal terhadap sirkulasi dan ventilasi dari korban yang mengalami henti jantung atau henti nafas melalui resusitasi jantung paru (CardioPulmonary Resuscitation = CPR ).
Tujuan utama melakukan RJP adalah memberikan oksigen kepada otak, jantung dan organ-organ vital lainnya, sampai datangnya suatu pengobatan medik yang definitive dan tepat ( Advance Life Support = Bantuan Hidup Lanjut ) untuk dapat mengembalikan fungsi jantung dan ventilasi yang normal. Kecepatan dalam melakukan tindakan RJP sangat menentukan, dan merupakan kunci untuk sukses.

b.       Indikasi
Indikasi untuk melakukan tindakan RJP adalah sebagai berikut :
1. Henti nafas
Bila terjadi henti nafas primer, jantung akan meneruskan pemompaan darah untuk beberapa menit, dan cadangan oksigen yang masih terdapat di paru-paru dan darah akan terus mengalir ke otak dan organ-organ vital lainnya. Intervensi dini untuk korban-korban dengan henti nafas atau dengan sumbatan jalan nafas dapat mencegah terjadinya henti jantung. Henti napas ditandai dengan tidak adanya gerakan dada dan aliran udara pernapasan dari korban/pasien. Henti napas merupakan kasus yang harus dilakukan tindakan Bantuan Hidup Dasar. Henti napas dapat terjadi pada keadaan:
·         Tenggelam
·         Stroke (Mempunyai riwayat hipertensi, trus tiba-tiba jatuh/pingsan)
·         Obstruksi jalan napas (Kerusakan daerah tenggorokan)
·         Epiglotitis (Peradangan Pita Suara)
·         Overdosis obat-obatan
·         Tersengat listrik
·         Infark miokard (Serangan Jantung)
·         Tersambar petir
·         Koma akibat berbagai macam kasus (Pingsan tanpa penyebab) 
Pada awal henti napas oksigen masih dapat masuk kedalam darah untuk beberapa menit dan jantung masih dapat mensirkulasikan darah ke otak dan organ vital lainnya, jika pada keadaan ini diberikan bantuan napas akan sangat bermanfaat agar korban dapat tetap hidup dan mencegah henti jantung.
2. Henti jantung
Pada saat terjadi henti jantung, secara langsung akan terjadi henti sirkulasi darah. Henti sirkulasi ini akan dengan cepat menyebabkan otak dan organ vital kekurangan oksigen. Pernapasan yang terganggu (tersengal-sengal) merupakan tanda awal akan terjadinya henti jantung.

c.       Penatalaksanaan
Jika Kita Bertemu Dengan Orang Seperti Diatas, Apa Yang Kita Lakukan ?
Ada dua prinsip penting, yaitu pertama jika kita bertemu dengan orang seperti diatas, jangan lupa untuk memanggil bantuan, karna RJP hanyalah tindakan pertolongan partama yang selanjutnya perlu tindakan medis, yang kedua pastikan kondisinya memang sesuai dengan kriteria RJP melalui pemeriksaan primer.

Pemeriksaan Primer
Prinsip pemeriksaan primer adalah bantuan napas dan bantuan sirkulasi. Untuk dapat mengingat dengan mudah tindakan survei primer dirumuskan dengan abjad A, B, C, yaitu:
·  A airway (jalan napas)
·  B breathing (bantuan napas)
·  C circulation (bantuan sirkulasi)
Sebelum melakukan tahapan A (airway), harus terlebih dahulu dilakukan prosedur awal pada korban/pasien, yaitu :
1.  Memastikan keamanan lingkungan bagi penolong
2.  Memastikan kesadaran dari korban/pasien.
Untuk memastikan korban dalam keadaan sadar atau tidak penolong harus melakukan upaya agar dapat memastikan kesadaran korban/pasien, dapat dengan cara menyentuh atau menggoyangkan bahu korban/pasien dengan lembut dan mantap untuk mencegah pergerakan yang berlebihan, sambil memanggil namanya atau Pak !!! /  Bu!!! / Mas!!! /Mbak !!!.
3.   Meminta pertolongan.
Jika ternyata korban/pasien tidak memberikan respon terhadap panggilan, segera minta bantuan dengan cara berteriak “Tolong !!!” untuk mengaktifkan sistem pelayanan medis yang lebih lanjut.
4.   Memperbaiki posisi korban/pasien.
Untuk melakukan tindakan RJP yang efektif, korban/pasien harus dalam posisi terlentang dan berada pada permukaan yang rata dan keras. jika korban ditemukan dalam posisi miring atau tengkurap, ubahlah posisi korban ke posisi terlentang. Ingat! penolong harus membalikkan korban sebagai satu kesatuan antara kepala, leher dan bahu digerakkan secara bersama-sama. Jika posisi sudah terlentang, korban harus dipertahankan pada posisi horisontal dengan alas tidur yang keras dan kedua tangan diletakkan di samping tubuh.
5.   Mengatur posisi penolong.
Segera berlutut sejajar dengan bahu korban agar saat memberikan bantuan napas dan sirkulasi, penolong tidak perlu mengubah posisi atau menggerakkan lutut.

A.      (AIRWAY) Jalan Napas
                Setelah selesai melakukan prosedur dasar, kemudian dilanjutkan dengan melakukan tindakan :
a)       Pemeriksaan jalan napas
        Tindakan ini bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya sumbatan jalan napas oleh benda asing. Jika terdapat sumbatan harus dibersihkan dahulu, kalau sumbatan berupa cairan dapat dibersihkan dengan jari telunjuk atau jari tengah yang dilapisi dengan sepotong kain, sedangkan sumbatan oleh benda keras dapat dikorek dengan menggunakan jari telunjuk yang dibengkokkan. Mulut dapat dibuka dengan tehnik Cross Finger, dimana ibu jari diletakkan berlawanan dengan jari telunjuk Pada mulut korban. 
b)       Membuka jalan napas
        Setelah jalan napas dipastikan bebas dari sumbatan benda asing, biasa pada korban tidak sadar tonus otot-otot menghilang, maka lidah dan epiglotis akan menutup farink dan larink, inilah salah satu penyebab sumbatan jalan napas. Pembebasan jalan napas oleh lidah dapat dilakukan dengan cara Tengadah kepala topang dagu (Head tild – chin lift) dan Manuver Pendorongan Mandibula (Rahang Bawah).


B.      (BREATHING) Bantuan napas
Prinsipnya adalah memberikan 2 kali ventilasi sebelum kompresi dan memberikan 2 kali ventilasi per 10 detik pada saat setelah kompresi. Terdiri dari 2 tahap :
1.    Memastikan korban/pasien tidak bernapas.
        Dengan cara melihat pergerakan naik turunnya dada, mendengar bunyi napas dan merasakan hembusan napas korban/pasien. Untuk itu penolong harus mendekatkan telinga di atas mulut dan hidung korban/pasien, sambil tetap mempertahankan jalan napas tetap terbuka. Prosedur ini dilakukan tidak boleh melebihi 10 detik.
2.       Memberikan bantuan napas.
        Jika korban/pasien tidak bernapas, bantuan napas dapat dilakukkan melalui mulut ke mulut, mulut ke hidung atau mulut ke stoma (lubang yang dibuat pada tenggorokan) dengan cara memberikan hembusan napas sebanyak 2 kali hembusan, waktu yang dibutuhkan untuk tiap kali hembusan adalah 1,5 – 2 detik dan volume udara yang dihembuskan adalah 7000 – 1000 ml (10 ml/kg) atau sampai dada korban/pasien terlihat mengembang. Penolong harus menarik napas dalam pada saat akan menghembuskan napas agar tercapai volume udara yang cukup. Konsentrasi oksigen yang dapat diberikan hanya 16 – 17%. Penolong juga harus memperhatikan respon dari korban/pasien setelah diberikan bantuan napas.  
Cara memberikan bantuan pernapasan :
o        Mulut ke mulut
Bantuan pernapasan dengan menggunakan cara ini merupakan cara yang tepat dan efektif untuk memberikan udara ke paru-paru korban/pasien. Pada saat dilakukan hembusan napas dari mulut ke mulut, penolong harus mengambil napas dalam terlebih dahulu dan mulut penolong harus dapat menutup seluruhnya mulut korban dengan baik agar tidak terjadi kebocoran saat mengghembuskan napas dan juga penolong harus menutup lubang hidung korban/pasien dengan ibu jari dan jari telunjuk untuk mencegah udara keluar kembali dari hidung. Volume udara yang diberikan pada kebanyakkan orang dewasa adalah 700 – 1000 ml (10 ml/kg). Volume udara yang berlebihan dan laju inpirasi yang terlalu cepat dapat menyebabkan udara memasuki lambung, sehingga terjadi distensi lambung.

o        Mulut ke hidung
Teknik ini direkomendasikan jika usaha ventilasi dari mulut korban tidak memungkinkan, misalnya pada Trismus atau dimana mulut korban mengalami luka yang berat, dan sebaliknya jika melalui mulut ke hidung, penolong harus menutup mulut korban/pasien.
o        Mulut ke Stoma
Pasien yang mengalami laringotomi mempunyai lubang (stoma) yang menghubungkan trakhea langsung ke kulit. Bila pasien mengalami kesulitan pernapasan maka harus dilakukan ventilasi dari mulut ke stoma.

C.      (CIRCULATION) Bantuan sirkulasi
Terdiri dari 2 tahapan :
1.       Memastikan ada tidaknya denyut jantung korban/pasien.
        Ada tidaknya denyut jantung korban/pasien dapat ditentukan dengan meraba arteri karotis di daerah leher korban/ pasien, dengan dua atau tiga jari tangan (jari telunjuk dan tengah) penolong dapat meraba pertengahan leher sehingga teraba trakhea, kemudian kedua jari digeser ke bagian sisi kanan atau kiri kira-kira 1 – 2 cm raba dengan lembut selama 5 – 10 detik.
        Jika teraba denyutan nadi, penolong harus kembali memeriksa pernapasan korban dengan melakukan manuver tengadah kepala topang dagu untuk menilai pernapasan korban/pasien. Jika tidak bernapas lakukan bantuan pernapasan, dan jika bernapas pertahankan jalan napas.
2.       Memberikan bantuan sirkulasi.
        Jika telah dipastikan tidak ada denyut jantung, selanjutnya dapat diberikan bantuan sirkulasi atau yang disebut dengan kompresi jantung luar, dilakukan dengan teknik sebagai berikut :
o    Dengan jari telunjuk dan jari tengah penolong menelusuri tulang iga kanan atau kiri sehingga bertemu dengan tulang dada (sternum).
o   Dari pertemuan tulang iga (tulang sternum) diukur kurang lebih 2 atau 3 jari ke atas. Daerah tersebut merupakan tempat untuk meletakan tangan penolong dalam memberikan bantuan sirkulasi.
o  Letakkan kedua tangan pada posisi tadi dengan cara menumpuk satu telapak tangan di atas telapak tangan yang lainnya, hindari jari-jari tangan menyentuh dinding dada korban/pasien, jari-jari tangan dapat diluruskan atau menyilang.
o     Dengan posisi badan tegak lurus, penolong menekan dinding dada korban dengan tenaga dari berat badannya secara teratur sebanyak 30 kali (dalam 15 detik = 30 kali kompresi)  dengan kedalaman penekanan berkisar antara 1.5 – 2 inci (3,8 – 5 cm).
o    Tekanan pada dada harus dilepaskan keseluruhannya dan dada dibiarkan mengembang kembali ke posisi semula setiap kali melakukan kompresi dada. Selang waktu yang dipergunakan untuk melepaskan kompresi harus sama dengan pada saat melakukan kompresi. (50% Duty Cycle).
o    Tangan tidak boleh lepas dari permukaan dada dan atau merubah posisi tangan pada saat melepaskan kompresi.
o     Rasio bantuan sirkulasi dan pemberian napas adalah 30 : 2 (Tiap 15 detik = 30 kompresi dan 2 kali tiupan nafas), dilakukan baik oleh 1 atau 2 penolong. 
        Dari tindakan kompresi yang benar hanya akan mencapai tekanan sistolik 60 – 80 mmHg, dan diastolik yang sangat rendah, sedangkan curah jantung (cardiac output) hanya 25% dari curah jantung normal. Selang waktu mulai dari menemukan pasien dan dilakukan prosedur dasar sampai dilakukannya tindakan bantuan sirkulasi (kompresi dada) tidak boleh melebihi 30 detik.

`Penilaian Ulang
Sesudah 4 siklus ventilasi dan kompresi kemudian korban dievaluasi kembali,
·          Jika tidak ada nadi dilakukan kembali kompresi dan bantuan napas dengan rasio 30:2.
·         Jika ada napas dan denyut nadi teraba letakkan korban pada posisi mantap
·         Jika tidak ada napas tetapi nadi teraba, berikan bantuan napas sebanyak 10 – 12 kali permenit dan monitor nadi setiap saat.
·         Jika sudah terdapat pernapasan spontan dan adekuat serta nadi teraba, jaga agar jalan napas tetap terbuka kemudian korban/pasien ditidurkan pada posisi sisi mantap.

C.    CONTOH PENERAPAN RJP PADA KASUS KEGAWATDARURATAN MATERNAL
Contoh : Inversio Uteri
Hasil Pengkajian. Manifastasi Klinis meliputi:
2.      Nyeri pelvic berat dengan sensasi penuh yang berlebihan meluas dalam vagina
3.      Ekstruksi lapisan uterus dalam ke dalam vagina atau meluas ke luar introitus vagina
4.      Perdarahan pervaginam dan tanda-tanda hipovolemia
Penetalaksanaan.
1.      Kenali tanda-tanda inversio yang akan terjadi, dan segera beri tahudokter dan minta bantuan
2.      Reposisi manual uterus segera pada waktu yang bersamaan dengan inverse akan mencegah terperangkapnya serviks pada uterus; jika reinversi tidak dilakukan segera, kehilangan darah yang cepat dan banyak dapat terjadi, yang mengakibatkan syok hipovolemik.
3.      Melakukan langkah-langkah untuk mencegah dan membatasi syok hipovolemik.
a.       Masukkan cairan infus dengan jarum nomor besar untuk penggantian cairan
b.      Ukur dan catat tanda-tanda vital setiap 5 sampai 15 menit untuk melihat tanda-tanda perubahan
c.       Guyur infuse yang sudah terpasang untuk penggantian cairan yang optimal
d.      Periksa kadar fibrinogen untuk mengetehui pembekuan darah pasien
e.       Bersiap-siap untuk melakukan RJP, jika diperlukan
4.      Jika reinversio manual tidak berhasil, siapkan klien dan keluarga untuk kemungkinan anestesi umum dan pembedahan.







DAFTAR PUSTAKA

Maryadi. 2011. Asuhan Keperawatan RJP, diakses dari http://wwwdagul88.blogspot.com   , 6 Maret 2012.

Aswin, Rahmad. 2010. Nafas Buatan (Resusitasi Jantung Paru), diakses dari http://duniakeperawatan.wordpress.com  , 6 Maret 2012.

STIK Bina Husada. 2008. Pengantar Kegawat Daruratan diakses dari http://bina-husada.blogspot.com , 6 Maret 2012.